-->

Thursday, September 23, 2010

Pesan Sang Ayah


Telah terukir dalam sejarah penyebaran agama Allah di muka bumi, seorang ayah dengan penuh haru meninggalkan istri dan bayi yang masih dalam gendongan di tengah hamparan pasir jauh dari kehidupan. Sang ibu yang ditinggalkan hanya bisa pasrah menerima kenyataan. Kepasrahan yang dibalut dengan keyakinan bahwa semua itu semata-mata atas perintah Allah menumbuhkan ketabahan dan kesabaran bagi keduanya walau deraian air mata membanjiri pelupuk mata.


Kini semuanya telah berlalu. Bayi yang dulu menangis lantang di tengah padang pasir karena kehausan kini telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang gagah dan tampan. Hidupnya bahagia didampingi oleh Ibrahim sang ayah dan Siti Hajar sang ibu tercinta.
“Wahai Ismail” panggil Ibrahim suatu hari, “Sekarang kamu sudah cukup dewasa. Apakah belum terpikir olehmu untuk mencari pendamping hidup?”
Ismail diam merenungkan kata-kata ayahnya. Walaupun suatu kalimat yang bernada pertanyaan namun sebagai seorang anak yang cerdas ia mengerti bahwa ayahnya menginginkannya agar segera menikah. Kepatuhannya terhadap sang ayah membuatnya tidak berpikir panjang lagi, dipinangnya seorang gadis dari suku Jurhum untuk dijadikan pendamping hidupnya.

Pernikahan Ismail dengan putri suku Jurhum pun dilangsungkan walau Ibrahim berhalangan hadir karena sedang pergi keluar Mekah. Kini Ismail mulai meniti kehidupan yang baru, ia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah yang tidak jauh dari rumah kedua orangtuanya.

Setelah sekian lama, Ibrahim pulang kembali ke Mekah. Ia sangat rindu pada Ismail. Apalagi mendengar kabar bahwa Ismail telah menikah. Ibrahim ingin segera bertemu menantunya, maka berkunjunglah Ibrahim ke rumah Ismail. Siang itu kebetulan Ismail sedang keluar rumah, Ibrahim hanya disambut oleh seorang perempuan. Perempuan itu tidak mengenali bahwa Ibrahim adalah ayah mertuanya. Sebaliknya, Ibrahim sudah menerka bahwa perempuan itu pasti menantunya.
“Bapak mencari siapa?” sapa perempuan itu.
“Saya ingin bertemu Ismail. Apakah dia ada di rumah?”
“Oh, suami saya? Dia sedang pergi bekerja”
“Oh iya? Kalau begitu suamimu tentu orang yang rajin bekerja dan pastilah kamu bahagia memiliki suami seperti Ismail”
Perempuan itu diam sejenak, lalu berkata, “Tadinya aku mengira akan hidup bahagia bersama Ismail. Tapi ternyata, hidup kami susah. Ismail sering pulang malam, itu pun kadang-kadang tidak membawa apa-apa. Saya sering kesal dengan dia, setiap kali saya menuntut perbaikan ekonomi rumah tangga, dia selalu mengatakan, “Sabar dulu ya..”. Sabar kan ada batasnya! Yaahh.. Tak tahulah pak.. Sampai kapan kami harus menjalani hidup susah seperti ini?”

Ibrahim manggut-manggut mendengar keluhan istri Ismail yang sama sekali tidak menceritakan kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama Ismail. Tidak sedikitpun rasa syukur tercermin di dalamnya, yang ada hanyalah hawa nafsu seorang istri yang selalu berangan-angan tinggi tanpa mengukur kemauan dan kemampuannya. Dari situ Ibrahim bisa menilai bahwa perempuan itu tidak layak menjadi menantunya.
“Baiklah kalau begitu aku pamit dulu. Sampaikan salamku pada suamimu. Dan… Sampaikan pesanku agar suamimu segera mengganti pintu rumahnya”.

Tak lama setelah Ibrahim pergi, datanglah Ismail. Ia merasa ada seseorang yang baru datang ke rumahnya.
“Istriku, apakah ada seseorang yang telah datang kemari?”
“Iya. Seorang laki-laki tua mencarimu”
“Lalu kau bilang apa?”
Istri Ismail menuturkan semua pembicaraannya dengan Ibrahim. Setelah semuanya diceritakan, Ismail bertanya, “Sebelum tamu itu pulang, apa yang dia katakan?”
“Dia kirim salam untukmu dan berpesan agar pintu rumah segera diganti”.
Ismail termenung. Ia berusaha menangkap arti semua perbincangan antara istri dengan ayahnya, sampai pesan ayahnya agar ia mengganti pintu rumah. Kemudian Ismail menjelaskan, “Wahai istriku, ketahuilah, laki-laki tua itu adalah ayahku. Maksud ayah mengatakan pintu rumah harus diganti adalah ayah memerintahkan agar aku menceraikanmu dan mengembalikanmu ke rumah orangtuamu”.

Ismail pun melaksanakan pesan sang ayah. Istrinya dicerai dan diantar pulang ke rumah orangtuanya. Setelah sekian lama bercerai, Ismail kembali menikah. Pernikahannya kali ini pun tidak dihadiri oleh Ibrahim, sehingga Ibrahim dengan istri Ismail belum saling mengenal. Kepergian Ibrahim cukup lama sehingga menumbuhkan rasa rindu yang mendalam terhadap putranya.

Namun kala itu Ibrahim tidak menjumpai putranya. Ia hanya menjumpai seorang perempuan yang menyambutnya. Perempuan itu tidak mengenali bahwa yang datang adalah ayah mertuanya. Ibrahim memandang perempuan itu lalu berkata dalam hati.. “Hmm..Pasti ini menantuku..”
“Silahkan pak.. Ada yang bisa saya bantu?”
“Bisakah aku bertemu Ismail?”
“Kebetulan suami saya sedang bekerja”
“Oh iya? Suamimu pasti orang yang rajin bekerja. Tentu kamu bahagia memiliki suami seperti dia”
“Alhamdulillah saya bersyukur memiliki suami Ismail. Orangnya rajin, ulet, tekun dan sabar. Hidup kami serba kecukupan, tidak pernah kekurangan makan maupun minum. Bahagia sekali saya hidup bersamanya”.
Kesyukuran seorang istri telah tergambar dari kata-kata yang diucapkannya. Istri yang shalihat, yang selalu bersyukur dan istri yang bisa menjaga rahasia rumah tangganya. Bahagialah Ibrahim memiliki menantu yang shalihat.
“Baiklah aku pamit dulu. Semoga Allah berkenan melimpahkan rahmatNya kepada kalian. Sampaikan salamku pada suamimu dan sampaikan pesanku agar ia tetap merawat dan memelihara pintu rumahnya.

Tak lama setelah Ibrahim pergi, datanglah Ismail. Ia merasa ada seseorang yang baru saja datang ke rumahnya.
“Kelihatannya ada yang baru datang ke rumah kita?”
“Iya. Tadi ada bapak-bapak tua datang kemari. Dia menanyakanmu”
“Lalu kamu bilang apa?”
Istri Ismail menceritakan semua perbincangannya dengan Ibrahim. Rasa haru menyelimuti benak Ismail.
“Sebelum bapak tua itu pulang, apa yang dia katakan?”
“Dia kirim salam untukmu dan berpesan agar pintu rumah tetap dipelihara dan dirawat”
Ismail diam sejenak, lalu..
“Wahai istriku. Ketahuilah, bapak tua itu adalah ayahku. Beliau mengatakan pintu rumah harus tetap dipelihara dan dirawat, artinya beliau memerintahkan agar aku tetap melindungi dan menjagamu. Kau tetap menjadi istriku…”

No comments:

Post a Comment